Kepakaran Rokhmin Dahuri di bidang kelautan dan perikanan tidak perlu diragukan lagi. Pria kelahiran Desa Gebang Mekar, Cirebon, pada 16 November 1958 itu merupakan pakar senior di bidang tersebut. Karena itu pula, Rokhmin yang kini tercatat sebagai guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) sempat dua kali didaulat menjadi menteri kelautan dan perikanan, yakni saat Kabinet Persatuan Indonesia (Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Kabinet Gotong Royong (Presiden Megawati Soekarnoputri).
Meski sudah mumpuni di bidangnya, Rokhmin tetap haus pada ilmu pengetahuan dan wawasan baru terkait sektor kelautan. Karena itu, membaca dan mencari buku baru menjadi menu wajib baginya. Alhasil, kini koleksi buku di kediamannya di bilangan Bogor pun bejibun.
"Saya memang suka membaca buku. Mungkin ada sekitar 40.000 buku di rumah saya. Buku-buku koleksi saya itu lebih banyak membahas sektor kelautan dan perikanan dan tentunya bidang ekonomi lainnya," ungkap Rokhmin di Jakarta, baru-baru ini.
Rokhmin memiliki gairah yang kuat terhadap sektor kelautan dan perikanan. Kini, selain menjadi pendidik di IPB untuk bidang tersebut, Rokhmin juga mengabdikan kemampuannya untuk lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.
"Setelah lulus dari IPB, saya menjadi dosen hingga menjadi doktor di bidang kelautan. Kebanyakan aktivitas saya itu mengajar dari satu kampus ke kampus lain. Saya punya passion di situ," ucap penerima piagam penghargaan Dosen Teladan I Tingkat Nasional (1995) dan Indonesian Development Award (1999).
Selain mengajar, ia juga berupaya membagikan pengetahuannya dengan menulis kolom di media seminggu sekali. Jika seminggu tidak menulis, ia merasa gatal dan bersalah. Di sisi lain, dia juga menjadi konsultan di berbagai perusahaan sekaligus menjadi penasihat pembangunan kelautan untuk 10 gubernur di Indonesia.
Menurut Rokhmin, ia tertarik sektor kelautan dan perikanan karena keluarganya merupakan nelayan tradisional. Ayahnya seorang nelayan dan ibunya pedagang ikan. Sejak kelas lima SD sampai kelas tiga SMP, sebelum sekolah Rokhmin ke laut terlebih dahulu. Entah kebetulan atau tidak, saat mantan Presiden (alm) Gus Dur mengangkat Rokhmin menjadi menteri pun bukan karena ia seorang doktor bidang kelautan, melainkan karena anak nelayan tradisional. "Rumah saya dekat laut. Saya terlahir di desa nelayan tradisional di Cirebon, Jawa Barat," katanya.
Ayah Rokhmin yang seorang kepala desa memang telah meminta dirinya masuk ke IPB jurusan perikanan. Sebab, desanya sering menjadi tempat praktik lapangan anak-anak perikanan IPB sejak 1964, namun belum ada satu pun mahasiswa jurusan perikanan IPB yang merupakan anak nelayan Cirebon. "Jadi sesungguhnya harapan ayah saya simpel. Lulus dari kampus, saya kembali untuk membangun kampung," ujar Rokhmin.
Rokhmin menempuh pendidikan dasar sampai lanjutan atas di Cirebon, lalu meraih gelar sarjana perikanan IPB pada 1982. Selama menempuh program S1 di IPB, selain aktif di Dewan Mahasiswa (DM) IPB sebagai ketua DM IPB bidang hubungan eksternal (1979-1981), ia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam menjadi ketua HMI Cabang Bogor (1980-1981) dan ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI, 1978-1979).
Rokhmin meraih gelar magister sains dari program pascasarjana IPB lulus 1986 di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, serta menyelesaikan program doktor bidang ilmu ekologi dan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan dari School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Canada pada 1991. Sejak September 1999 menjabat dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, dan akhirnya memimpin Departemen Kelautan dan Perikanan pada masa Kabinet Persatuan Indonesia (Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Kabinet Gotong Royong (Presiden Megawati Soekarnoputri) dari 4 Juni 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004.
Di almamaternya, Rokhmin memimpin Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB (1996-1999). Ia juga pernah menjabat sebagai pembantu rektor IV Institut Pertanian Bogor (1998-1999). Selain itu, sejak 1997 sampai sekarang masih menjabat ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.
Aktivitas profesi yang dijalani saat ini, di antaranya anggota Dewan Riset Nasional (DRN), ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN ), anggota ICLARM Network of Tropical Fisheries Scientist, dan lain-lain. Kini, Rokhmin juga merupakan ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bidang Maritim dan Perikanan.
Meski memiliki kegiatan yang seabrek, Rokhmin begitu menikmatinya. Sebab, keluarganya sangat mengerti kesibukannya, terutama sang istri. Baginya, sang istri adalah jangkar dalam rumah tangga yang membuat keempat anaknya sukses dalam pekerjaan. Saking sibuknya, usai malam pertama Rokhmin langsung survei ke Kalimantan Barat tentang dampak limbah pengawet kayu pada kualitas air Sungai Kapuas. “Karenanya sekarang saya suka iri saat cucu saya memanggil mesra ayahnya dengan sebutan abi, saya iri dengan menantu saya,” katanya.
Untuk mengisi waktu luang, Rokhmin memilih berkumpul bersama anak dan cucunya sebulan sekali, untuk sekadar jalan-jalan dan makan di restoran dekat rumahnya. Kebetulan, Rokhmin mengaku tidak ada pantangan dalam hal makanan. Semua makanan dilahapnya, yang penting halal. Dari semua makanan, dia paling suka seafood dan sayuran.
Kurang Diminati
Tiga perempat wilayah Indonesia adalah laut. Namun hanya sedikit yang bekerja di sektor tersebut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, hanya 12 juta orang yang bekerja di sektor tersebut. Penyebabnya, kemungkinan karena pendapatan usaha di sektor itu lebih kecil atau sama dengan pekerjaan di darat. "Parahnya, anak muda Indonesia lebih memilih bekerja di darat. Ini karena salah satu sifat dominan manusia adalah mahkluk ekonomi, jadi mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan," ujar Rokhmin.
Rokhmin menerangkan, di negara lain seperti Islandia, Norwegia, Belanda, Jepang, dan Denmark, orang yang bekerja di laut itu memiliki gaji dua kali lipat dibanding di darat. Sebaliknya di Indonesia, pegawai negeri sipil, misalnya saat melakukan survei kerja di darat mendapat uang jalan Rp 500.000, sementara di laut hanya Rp 350.000. "Alasannya hotel di laut jumlahnya sedikit. Ini justru kacau, padahal di negara lainnya kalau di laut uang jalannya lebih besar daripada di darat," kata ayah empat putri itu.
Rokhmin juga mengatakan, tidak ada insentif (reward) untuk anak muda yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah mendatang bisa menarik minat anak muda untuk bekerja di sektor itu. Caranya, bisnis kelautan dan perikanan harus dibuat modern dan profesional, mulai dari sisi skala ekonomi, teknologi, industri, pengolahan, dan pemasarannya. Dengan demikian, bisnis kelautan dan perikanan lebih menguntungkan dibanding di darat.
"Apa mungkin? Mungkin. Buktinya, kapal-kapal Tiongkok mau jauh-jauh mengambil ikan di Indonesia. Pasti menguntungkan dan mereka jauh lebih profesional," tutup Rokhmin.
Sumber: beritasatu.com
Comments
Post a Comment