Surat Pembaca: Perpustakaan di Sekolah Inklusi

Seiring adanya Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi, keberadaan sekolah dengan model itu pun bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Pasalnya, Permendiknas ini mewajibkan adanya sekolah inklusi di tingkat kabupaten atau kota di setiap daerah. Pada tahun 2013, jumlah sekolah ini mencapai 2.603 buah (Antara, 22/03/2014). Dapat dipastikan jumlah tersebut akan terus bertambah dari waktu ke waktu.


Ironisnya, meski keberadaannya sudah mulai menjamur, sekolan inklusi masih dihadapkan dengan beragam masalah mendasar. Mulai dari guru yang tidak kompeten, minimnya pelatihan bagi guru, hingga sarana prasarana pendidikan yang belum memadai. Salah satunya ketiadaan perpustakaan di sekolah inklusi. Perpusakaan merupakan sarana penunjang pembelajaran yang baik di sekolah. Sekolah dan perpustakaan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sistem pembelajaran yang baik, salah satunya, dapat dilihat dari kondisi perpustakaannya.


Dalam konteks pendidikan inklusi, keberadaan perpustakaan punya peran vital. Perpustakaan merupakan pusat sekaligus sumber informasi ilmu pengetahuan yang utama. Dalam hal ini perpustakaan dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan informasi siswa, baik difabel maupun nondifabel dimana keduanya membutuhkan jenis informasi dan pelayanan yang berbeda.


Keberadaan sekolah inklusi, memberikan tantangan baru bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Sebelum sekolah ini muncul, kondisi perpustakaan di beberapa sekolah masih jauh dari harapan. Meskipun pihak pemerintah telah memberikan bantuan khusus untuk pengembangan perpustakaan, fakta di lapangan menunjukkan pengelolaannya belum maksimal dan tidak tepat sasaran.


Tidak jarang pula bantuan pemerintah yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan perpustakaan justru digunakan untuk membangun gedung sekolah yang baru atau untuk belanja keperluan lain. Alasannya, perpustakaan di sekolah tidak begitu penting sehingga tidak diperlukan. Anggapan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan. Selain salah, sistem manajerial perpustakaan pun masih amburadul. Ada yang jam buka perpustakaan tidak menentu, ada juga yang mirip dengan gudang buku yang berserakan dan mirip ruang mati. Selain itu, pengelola perpustakaan kebanyakan para guru yang sebenarnya punya tugas pokok untuk mengajar, bukan mengelola perpustakaan. Keberadaan guru yang merangkap sebagai pengelola atau bahkan kepala perpustakaan, bukanlah suatu kewajaran yang bisa dilegalkan begitu saja. Jika seorang guru ingin merangkap sebagai pengelola perpustakaan, maka guru tersebut harus mengikuti pelatihan dan melalui uji kemampuan dalam bidang perpustakaan.


Hal ini juga sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 pasal 1 ayat 8 yang menyebutkan bahwa pustakawan atau pengelola perpustakaan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan, serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.


Permasalahan lain yang akan dihadapi perpustakaan dalam pendidikan inklusi adalah terkait koleksi atau sumber informasi perpustakaan. Dalam hal ini perpustakaan dituntut untuk tidak hanya menyediakan bahan bacaan cetak (buku) bagi siswa nondifabel saja, tetapi juga buku-buku brailer dan buku elektronik bagi siswa difabel. Untuk menyediakan bahan koleksi brailer atau elektronik bukanlah suatu hal yang mudah. Selama ini kedua jenis bahan koleksi ini masih terhitung minim, bahkan di tingkat perpustakaan perguruan tinggi sekali pun.


Salah satu solusi alternatif adalah dengan penguasaan teknologi informasi (TI). Dengan bantuan TI, perpustakaan dapat menyediakan buku elektronik secara lebih murah. Misalnya dengan membuat e-book dengan alat scanner atau membuat Mp3 dan buku audio dengan perangkat lunak (aplikasi) text to speech yang bisa didapatkan secara gratis di internet.


Selain itu, menjalin hubungan kerja sama tidak kalah pentingnya dalam perpustakaan. Antarperpustakaan sekolah inklusi misalnya, dapat saling bertukar ide dan pikiran, serta membuat sistem peminjaman koleksi antarperpustakaan untuk saling melengkapi kebutuhan informasi di sekolah masing-masing.


Dibutuhkan kreativitas dan totalitas dalam mengelola perpustakaan di sekolah inklusi. Sinergi antarelemen di dalam sekolah tersebut, serta peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam pengembangan perpustakaan di sekolah inklusi. Nantinya, dengan berkembangnya perpustakaan di sekolah inklusi mampu menjadikan pembelajaran di sekolah lebih bermakna, dan berwawasan luas dengan menjunjung tinggi nilai persamaan hak antarmanusia.


Moh  Mursyid, SIP
Wisma Muslim, Demangan Kidul
GK I No 586, RT16/5, Sleman
Yogyakarta.

Sumber: suaramerdeka.com

Comments