Novel 'Momo' bacaan Dahlan Iskan jelang pengumuman konvensi

Jelang pengumuman pemenang konvensi Partai Demokrat, Dahlan Iskan makin rajin membaca buku, salah satunya novel berjudul Momo. Sebuah buku karya Michael Ende, pengarang asal Jerman menjadi bacaan untuk mengisi waktu senggangnya.

Melalui akun Twitternya, Dahlan mengaku novel tersebut memberikan banyak masukan dalam menghadapi gejolak politik di Tanah Air. Tak hanya itu, dia pun menyindir sikap beberapa orang yang dianggapnya seolah-olah pintar dan memberi kritik tanpa dasar.


"Novel Momo karya sastrawan Jerman menggambarkan diam itu bisa selesaikan banyak masalah. Bagus untuk yang sok pinter dan lebih bagus untuk yang serakah," tulis Dahlan dalam akun Twitter @iskan_dahlan, Jumat (16/5).


Seperti apa buku novel berjudul Momo tersebut. Dari penelusuran merdeka.com, Momo digambarkan sebagai seorang gadis cilik yang hidup sebatang kara. Tanpa orangtua, tidak bisa berhitung, bahkan tak pernah tahu usia yang sebenarnya.


Meski memiliki banyak kekurangan, namun gadis ini memiliki sebuah kelebihan, yakni pendengar yang baik. Bahkan, buku ini menggambarkan Momo sangat disukai orang-orang di sekitarnya, karena mampu memberikan masukan dan nasihat yang berharga.


Keadaan berubah dengan munculnya seorang pria yang disebut Men in Grey. Lelaki yang digambarkan berjubah, berkulit abu-abu dan berkepala botak ini merusak kehidupan kota yang ditinggali Momo.


Saat tiba, Men in Grey mendirikan sebuah bank untuk menyimpan waktu. Pria misterius ini bahkan bisa mengembalikan waktu jika nasabah membayar bunga yang ditentukannya.


Dengan bisnisnya itu, kehidupan warga pun berubah, aktivitas yang dianggap membuang waktu seperti aktivitas sosial, rekreasi, kesenian, atau tidur ditinggalkan. Hidup menjadi datar, bahkan semua orang mengenakan baju yang sama.


Namun, promosi yang dilakukan Man in Grey ini tak berpengaruh terhadap Momo. Lelaki misterius itu menganggap Momo sebagai musuhnya, berbagai upaya untuk menghentikan Momo telah dilakukan, namun seluruhnya gagal.


Beberapa pujian sempat diberikan saat edisi pertama buku ini terbit pada 1973. Seorang filosofi bernama David Loy dan Linda Goodhew menyebut novel tersebut sebagai 'satu dari novel terbaik di akhir abad 21'.


Meski menerima pujian, namun penerbitannya di Amerika Serikat mendapat kritikan tajam dari pengamat novel Natalie Babbit. Wanita yang juga seorang editor di Washington Post ini mempertanyakan kapabilitas sang pengarang.


"Ini buku anak-anak? Bukan untuk (pasar) Amerika."


Sumber: merdeka.com

Comments