National Library of Australia: Simpan Atribut Pemilu Indonesia sampai Situs Partai Gurem yang Kolaps
National Library of Australia memiliki koleksi buku dan literatur yang mumpuni tentang Indonesia. Begitu lengkapnya, mereka mengklaim sebagai perpustakaan dengan koleksi Indonesia terbesar di dunia. Berikut laporan wartawan Jawa Pos DWI SHINTIA IRIANTI yang mengunjungi Canberra pekan lalu.
GERIMIS membasahi jalan menuju Perpustakaan Nasional Australia (National Library of Australia/NLA) saat jarum jam melintasi angka 15.00 waktu Canberra, Australia, pekan lalu. Kota pemerintahan Australia itu pun merambat senyap. Memang, meski berlabel kota pemerintahan, populasi Canberra tidak besar.
Berdasar sensus penduduk pada 2011, jumlah penduduknya hanya berkisar 411 ribu. Tidak terlalu banyak, mengingat Canberra adalah salah satu kota dengan luas terbesar di Australia.
Meski demikian, sebagian Canberran "sebutan untuk masyarakat Canberra" belum hendak beranjak dari ruang-ruang baca di Perpustakaan Nasional Australia. Waktu yang seolah lambat berjalan, suhu sejuk dengan matahari yang malas menampakkan diri, menjadi latar yang pas untuk menghabiskan waktu dengan membaca di perpustakaan yang terletak di Parkes Place, Canberra, itu.
Bukan hanya Canberran yang mendatangi perpustakaan tersebut. Menjadi salah satu perpustakaan dengan koleksi terbesar di dunia, NLA adalah jujukan bagi pencari literatur dari seluruh dunia. Salah satunya Penny Peters. Ditemui di bagian Asian collection alias koleksi Asia, Peters sedang mencari data untuk melengkapi tesis doktoralnya.
Peters bukan Canberran. Perempuan berpotongan pendek itu berasal dari Swedia. "Saya sengaja ke Canberra karena di sini ada buku dan literatur yang saya butuhkan," katanya saat dijumpai Jawa Pos (27/3).
Koleksi Asia di NLA memang tidak main-main. Mereka punya jutaan buku, jurnal, sampai media massa seperti koran, majalah, dan tabloid dari negara-negara di Asia. Yang istimewa, penanggung jawab koleksi Asia itu seorang perempuan mungil berkacamata yang terlahir di Bandung, Jawa Barat, 50 tahun lalu.
Namanya Tieke Atikah. Ibu satu anak yang sudah 25 tahun tinggal di Australia tersebut sangat gesit menerangkan koleksi yang mereka miliki. Termasuk menjelaskan bahwa koleksi literatur Indonesia di NLA menjadi yang terbesar di dunia. "Jika ingin mencari sesuatu tentang Indonesia, NLA tempatnya," ujar perempuan yang bersuami warga negara Australia itu.
Tieke yang mengambil jurusan librarian di Institut Teknologi Bandung dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Inggris menambahkan, NLA punya lebih dari 200 ribu judul buku yang berhubungan dengan Indonesia, 5 ribu jurnal, dan 250 media massa seperti koran dan tabloid. Itu belum termasuk koleksi lain seperti kumpulan halaman website media dari Indonesia, data-data Badan Pusat Statistik (BPS), sampai koleksi bersejarah saat pemerintahan Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Serta majalah dan koran yang sudah diberedel pemerintah. "Koleksi tertua kami tercatat mulai tahun 1940," ujar Tieke.
Saat berkunjung ke perpustakaan tersebut, Jawa Pos yang datang atas undangan Kedutaan Besar Australia melihat berbagai macam buku Indonesia di Asian Collections Reading Room. Misalnya Pers Indonesia di Mata Saya karya pengusaha Erick Thohir. Ada juga buku Ali Imron Sang Pengebom, Kiai dan Korupsi, Presiden Golput, dan buku fotografi karya fotografer Jawa Pos Yuyung Abdi Lensa Manusia.
"Koleksi Indonesia kami mulai ilmu sosial, pemerintahan, agama, dan literatur. Bahkan, koleksinya sampai level kabupaten/kota," terang Tieke yang menyempatkan pulang ke Indonesia dua kali setahun.
Saat musim pemilihan umum (pemilu) seperti sekarang, NLA pun menyediakan bagian khusus. Bagian khusus itu menampilkan berbagai ornamen yang berhubungan dengan pemilu. Seperti baliho, selebaran-selebaran, stiker, sampai kaus-kaus partai yang mengikuti pemilu. "Untuk pemilu tahun ini koleksinya sedang diperbarui," kata Tieke.
Yang dipajang ketika Jawa Pos mengunjungi NLA adalah koleksi saat Pemilu 2004 dan 2009. Ada berbagai jenis stiker Megawati Soekarnoputri dengan calon wakil presidennya, KH Hasyim Muzadi, dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Bukan hanya atribut pemilu, mereka juga memiliki situs-situs yang dibikin partai-partai. Situs yang mungkin saat ini sudah tidak ada lagi karena tidak diurusi atau partai yang saat itu ada sekarang sudah kolaps. "Asal tahu nama situsnya, mudah-mudahan kami memilikinya," terang Tieke. Dia lantas menunjukkan beberapa situs partai gurem yang namanya sudah tidak terdengar lagi.
Dijelaskan Tieke, sebenarnya koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta juga lengkap. Bahkan lebih lengkap daripada NLA. Namun, kelemahannya, ratusan ribu koleksi tersebut kerap tidak tercatat. Kalaupun tercatat, tidak mudah menemukan koleksi yang diinginkan, terutama bila buku atau literatur itu tidak populer. "Mungkin bukan tidak ada, tetapi susah mencarinya," terang dia.
Kata Tieke, semua itu tidak lepas dari prosedur pengaturan koleksi yang dimiliki sebuah perpustakaan. NLA misalnya. Mereka sangat terorganisasi. Semua koleksi tercatat, tersimpan, dan mudah diakses. Berbeda dengan perpustakaan konvensional yang mengharuskan orang tenggelam dalam deretan buku yang dibutuhkan, di NLA pengunjung cukup bermodal komputer. Bisa komputer di NLA atau secara online dari belahan bumi mana pun.
Nanti orang tinggal mencantumkan judul buku atau literatur yang diinginkan. Bila orang tersebut berada di NLA, cukup menanti sekitar 20 menit, buku yang dibutuhkan akan diantar petugas perpustakaan. Memang, buku-buku di NLA tidak dipajang di tempat terbuka. Mereka meletakkan buku-buku itu di lantai berbeda.
"Ini demi menjaga keberadaan koleksi kami," terang Tieke. Untuk beberapa koleksi seperti koran dan data-data pemerintahan, mereka menggunakan mikrofilm. Jadi, tidak perlu lagi membuka bundelan koran superberat. Cukup menghadap layar komputer, halaman per halaman yang dibutuhkan bakal tersaji di layar tersebut.
Untuk mendapatkan koleksi-koleksi itu, NLA memiliki perwakilan di Jakarta. Dalam sebulan sekitar 300 sampai 400 judul buku akan dikirim ke Australia. Itu belum termasuk literatur. Sementara itu, untuk media massa dan data-data pemerintahan, NLA mendapatkan suplai dari salah satu perusahaan data yang bermarkas di Amerika Serikat. "Kami membeli koleksi tersebut," ujarnya.
Sumber: jambiekspres.co.id
Comments
Post a Comment