Nama mantan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo sudah tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Terutama mereka yang hidup di era orde baru. Ibnu Sutowo pernah membuat heboh negeri ini. Di bawah kepemimpinannya, Pertamina nyaris bangkrut dan punya utang sekitar USD 10,5 miliar pada 1975. Sejumlah pihak mencurigainya terlibat korupsi.
Anehnya, namanya justru diabadikan menjadi nama perpustakaan milik Pertamina. Hari ini, Rabu (5/3), PT Pertamina (Persero) meluncurkan re-branding perpustakaan dengan nama The Ibnu Sutowo Library.
Vice President Investor Relations Pertamina Ahmad Herry Syarifudin mengatakan, perpustakaan menjadi sebuah kebutuhan untuk menunjang kinerja karyawan Pertamina. Perpustakaan ini menyediakan pelbagai koleksi dan refrensi bacaan soal minyak dan gas bumi.
"Perpustakaan berperan strategis sebagai knowledge center untuk mendukung peningkatan pengetahuan dan kemampuan pekerja Pertamina khususnya dan secara umum meningkatkan pengetahuan secara luas," ujar Herry di gedung Pertamina, Jakarta, Rabu (5/3).
Herry menceritakan, perpustakaan ini pertama kali didirikan pada 14 Agustus 1970 dengan nama Perpustakaan Pusat Pertamina. Hingga saat ini, koleksi perpustakaan Pertamina mencapai 7.246 buku dan 9.281 eksemplar artikel.
Selanjutnya Pertamina melakukan revitalisasi perpustakaan pada 2010. Pertamina juga melakukan penambahan koleksi tidak hanya dalam bentuk fisik, melainkan juga koleksi referensi digital. Namun belum dijelaskan alasan Pertamina memilih nama Ibnu Sutowo untuk nama perpustakaan yang baru diresmikan ini.
"Di tahun 2013 perpustakaan melakukan penerapan ISO 9001:2008 Quality Management yang bertujuan menstandarkan proses dan sistem kerja dan meningkatkan kepuasan bagi pengunjung," katanya.
Sekadar diketahui, Ibnu Sutowo awalnya seorang dokter. Dia lahir di Yogyakarta, 23 September 1914. Setamat dari pendidikan kedokteran di Surabaya pada tahun 1940, Ibnu Sutowo bekerja sebagai dokter di Palembang dan Martapura. Setelah masa kemerdekaan, dia sempat bertugas sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara Sumatera Selatan (1946-1947). Karirnya lumayan bagus tahun 1955, Sutowo menjabat sebagai Panglima TT-II Sriwijaya (Kini Panglima Kodam).
Pada tahun 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution, memberi perintah Ibnu Sutowo mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina). Pada tahun 1968, perusahaan ini bergabung dengan perusahaan minyak milik negara lain hingga menjadi PT Pertamina.
Harian Indonesia Raya tanggal 30 Januari 1970 memberitakan simpanan Ibnu Sutowo pada saat itu mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400 per dolar AS) dan melaporkan kerugian negara akibat kerjasama Ibnu Sutowo dengan pihak Jepang mencapai USD 1.554.590,28.
Dalam tajuk-tajuknya, pemimpin redaksi Harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis, keras mengkritik Ibnu Sutowo dan penyimpangan-penyimpangan di Pertamina. Mochtar Lubis mempertanyakan asal kekayaan Ibnu Sutowo yang tak jelas asal usulnya. Kontrak-kontrak Pertamina yang janggal, hingga laporan keuangan Pertamina yang sangat tertutup. Ibnu Sutowo yang diserang media dan sejumlah tokoh intelektual, tak menanggapi. Dia bersikeras tak korupsi.
Pertamina di era itu adalah sebuah perusahaan raksasa dengan barisan kilang minyak dan armada tanker. Saat itu keuntungan Pertamina melimpah saat harga minyak melambung tahun 1970. Pertamina mulai berinvestasi jor-joran, bahkan di luar bidang perminyakan. Mulai dari pengolahan baja Krakatau Steel, perhotelan, real estate, angkutan udara, dan banyak lagi.
Tapi turunnya harga minyak tahun 1975 dan utang jangka panjang Pertamina yang tidak cair menjadi pukulan telak menghantam Pertamina hingga nyaris rubuh. Ditambah dugaan korupsi para pejabatnya, Pertamina limbung. Pada 1975, Ibnu Sutowo dipecat sebagai Dirut Pertamina. Posisinya digantikan Piet Harjono.
Sumber: merdeka.com
Comments
Post a Comment