Generasi Miskin Membaca dan Menulis

*Oleh Sherly Novia Sari


Menulis, sebuah keterampilan yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang apalagi untuk akademisi yang jelas-jelas berkecimpung dalam dunia tulis-menulis. Sayang, fakta yang terjadi, hanya sedikit para akademisi yang mampu menulis. Bukan hanya siswa/mahasiswa namun juga untuk dosen-dosen dan tenaga pendidik yang seharusnya memiliki keterampilan menulis dan menghasilkan tulisan/karya bermanfaat yang tidak hanya dibaca oleh peserta didiknya, namun juga bisa dibaca oleh semua orang.


Kenyataanya, dosen atau tenaga pendidik hanya sedikit yang memiliki keterampilan menulis atau hanya sedikit sekali yang mau menulis dan mengabadikan ilmu yang ada di pikirannya dalam sebuah tulisan. Kebanyakan dari mereka beralasan terlalu sibuk sehingga tidak sempat menulis, namun kita juga dapat membandingkan bahwa ada beberapa akademisi yang bahkan jauh lebih sibuk namun tetap menulis dan menghasilkan karya.Jadi, permasalahan mendasarnya bukan karena sibuk atau tidak, tetapi mau menulis atau tidak. Jika seorang dosen sudah tidak memiliki semangat untuk menulis, bagaimana mahasiswanya? Belum lagi, kurangnya wadah bagi siswa/mahasiswa dalam menyalurkan keterampilan menulisnya, semakin memperparah persoalan ini. Perpustakaan di sekolah/kampus yang ada jarang dimanfaatkan secara optimal oleh siswa/mahasiswa. Tak heran, Karenanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum mempunyai budaya membaca, apalagi menulis.


Coba kita lihat hasil Survei UNDP 2013 yang menyatakan, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki peringkat 121 dari 187 negara dengan skor 0,629. Sementara untuk ASEAN IPM Indonesia masih di bawah Malaysia, yang menempati peringkat 64 dengan skor 0,769, Singapura 18 (0,895), Thailand 103 (0,690) dan Brunei Darussalam di posisi 30 (0,855). (Sindonews.com, 18/9/2013)Survei UNDP di atas diperkuat oleh Data Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), di mana jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin, dan sedikitnya hanya 300 jurnal ilmiah nasional yang telah mendapatkan akreditasi LIPI. Sedangkan data dari Scimagojr, Journal and Country Rank tahun 2011 menunjukkan selama kurun 1996-2010 Indonesia telah memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara yang diranking, Indonesia berada di posisi ke-64. Sementara Malaysia telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan Thailand 58.931 jurnal ilmiah. (Kompas.com, 7/2/2012).Data dari UNDP dan LIPI tersebut sudah menjadi bukti konkret rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.


Sementara persoalan rendahnya menulis di kalangan mahasiswa berhubungan dengan sistem pembelajaran menulis itu sendiri. Kebanyakan mahasiswa Indonesia tidak pernah mendapatkan materi bagaimana cara menulis yang benar. Mahasiswa Indonesia banyak yang "buta menulis".Pembelajaran menulis hanya diberikan di jurusan-jurasan tertentu, seperti sastra dan komunikasi. Padahal semua mahasiswa membutuhkan keterampilan ini. Di kedua jurusan ini pun pembelajaran menulis belum dikatakan berhasil, karena masih jarang penulis yang bisa dihasilkan dari jurusan tersebut. Sistem pembelajaran menulis masih sangat teoretis dan tidak praktis. Masalahnya, dosen tak terbiasa menulis sehingga terjadi pemandulan dan pemasungan kreativitas mahasiswa karena pendekatan teoretis para dosennya. Seorang mahasiswa, dosen dan profesor sekalipun tidak akan pernah bisa menyusun skripsi, tesis maupun disertasi tanpa melalui pembacaan terhadap teks-teks terlebih dahulu.Membaca dan menulis sudah menjadi ciri khas negara maju di mana kebanyakan penduduknya menjadikan membaca sebagai makanan sehari-hari. Salah satu negara yang menjadikan budaya membaca sebagai kebutuhan sehari-hari adalah Jepang.


Bahkan untuk Human Development Indeks (HDI), Jepang menempati urutan tertinggi dengan persentase melek huruf masyarakatnya mencapai 99%. Tinggi rendahnya HDI inilah yang menjadi indikator kemajuan sebuah bangsa. Bangsa Jepang sangat senang sekali membaca. Mereka tidak menganggap bahwa membaca itu adalah suatu kewajiban di sekolah, tapi suatu kebutuhan.Sementara pada umumnya masyarakat Indonesia lebih suka belanja ketimbang membeli buku atau koran. Mereka lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang mewah, seperti handphone, gadget, dan pakaian terbaru. Kurangnya minat baca menjadi salah satu faktor bangsa ini tertinggal dari negara-negara lain.Khotijah Kamsul dalam artikelnya, Strategi Pengembangan Minat dan Gemar Membaca menjelaskan, ada beberapa faktor yang menghambat peningkatan minat baca dalam masyarakat dewasa ini. Pertama, langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri. Kedua, semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Ketiga, pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca, tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi. Keempat, harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat. Kelima, kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku yang lengkap dan menarik.


Akhirnya, sebagai kaum intelektual, dosen dan mahasiswa harus mulai sadar akan pentingnya membaca dan menulis. Dengan menulis, mahasiswa bisa menyampaikan aspirasinya atau mengkritisi pelbagai permasalahan di negeri ini mulai dari masalah sosial, ekonomi maupun politik. Dosen jangan hanya bisa menyuruh mahasiswanya menulis, tetapi ia harus memberikan teladan dengan menulis di media. Dengan begitu mahasiswa bisa termotivasi mengembangkan budaya membaca dan menulis. Tugas membuat makalah dan artikel di kampus harus dijadikan proses pembelajaran bagi mahasiswa sekaligus harus dapat mengarahkan mahasiswa rajin membaca buku dengan memanfaatkan referensi di perpustakaan atau sumber belajar lainnya. ***


*Penulis adalah anggota Rumah Literasi Indonesia (Rulindo).


Sumber: suarakarya-online.com

Comments