Perpustakaan Kreatif, Ramah Anak dan Kerap Juara

Wonosobo - Siska Elesye menghampiri bagian pendaftaran Perpustakaan Al-Bidayah. Ia berjalan menuju rak buku setelah lima menit. Siska yang berumur delapan tahun datang bersama kakaknya, Rocky Cesar Alfarizi, 14 tahun. Siska memilih buku berjudul Cooking Battle. Mereka berdiri membaca di depan rak buku. Lalu, keduanya meminjam buku itu untuk dibawa pulang. “Saya suka pinjam buku tentang masak memasak,” kata Siska.


Siska dan Rocky adalah dua bocah dari setidaknya 15 bocah yang menikmati perpustakaan, Ahad siang, 26 Januari 2014. Mereka ada yang mengedit cerita pendek, bermain catur, dan permainan komputer edukasi. Perpustakaan itu memiliki berderet deret rak buku setinggi dua meter. Piala dan piagam menghias sepanjang bagian atas rak buku. Perpustakaan ini juga menyediakan kios milik koperasi taman baca masyarakat.


Gairah membaca di Desa Sapuran Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah meningkat seiring hadirnya perpustakaan itu. Lahirnya perpustakaan ini tidak lepas dari seorang bernama Dimas Ari Pamungkas. Ia adalah Kepala Perpustakaan Al-Bidayah. Sehari-hari dia adalah guru Sekolah Dasar di Wonosobo. Perpustakaan ini bersembunyi di antara perkampungan padat penduduk. Ada gang kecil dan jalan menanjak menuju perpustakaan.


Bangunan bercat ungu itu menempati lahan seluas 50 meter persegi. Ruangan untuk perpustakaan seluas 12 X 4 meter. Perpustakaan itu mulai menempati lahan itu sejak Oktober 2013. Sebelumnya, perpustakaan ini menumpang di balai desa. Balai desa yang semula kosong kemudian difungsikan lagi. Belakangan, pemerintah desa meminta kembali tempat ini untuk kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Ini membuat perpustakaan pindah ke tempat yang sekarang ini.


Ruang baca perpustakaan tidak Dimas batasi di dalam gedung perpustakaan. Emper rumah milik dia yang ada di seberang perpustakaan juga menjadi ruang baca. Anak-anak yang datang biasa membaca di sana dengan berbaring, selonjor, bersandar di tembok, dan tengkurap dengan mendongakkan kepala.


Menurut Dimas, tidak semua warga Desa Sapuran menerima kehadiran perpustakaan itu. Ada yang mengkritik ketika ia membangun perpustakaan di atas tanah milik keluarga dengan ongkos setidaknya Rp 50 juta. “Buat apa buang uang sebegitu besar kalau untuk perpustakaan,” kata Dimas menirukan mereka yang berkata kurang enak padanya.


Dimas menyatakan banyak yang berpendapat perpustakaan tak lebih sebagai gudang buku. Padahal, perpustakaan adalah tempat mencari ilmu. Dimas yakin perpustakaan desa yang sederhana ini dibutuhkan oleh masyarakat untuk menunjang pendidikan anak-anak Desa Sapuran.


Dimas mulai menggagas perpustakaan sejak 2007. Awalnya, perpustakaan itu hanya sebuah ruang baca berukuran 3 X 6 meter di dalam Musala Baiturrahman, Desa Sapuran. Ruangan itu disebut pojok buku Taman Pendidikan Quran. Dimas mengajak Muhtarom, guru mengaji di desa itu untuk menjalankan perpustakaan. Dimas menamai perpustakaan itu dengan Al-Bidayah, yang berarti yang utama, atau pertama. “Kami memang tinggal di desa. Kami tak ingin seperti katak dalam tempurung, dan ketinggalan informasi,” kata Dimas.


Perpustakaan ini memiliki koleksi buku sebanyak 4.000 eksemplar buku. Ada buku tuntunan lengkap perawatan jenazah, buku tuntunan berdoa, dan cara beternak ayam. Ada juga novel berbobot Olenka karya Budi Dharma, Che Guevara Revolusi Rakyat, buku filsafat, dan buku berjudul Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang. Ada juga novel karya Umar Kayam dan Andrea Hirata. Buku monumental karya Presiden Sukarno Dibawah Bendera Revolusi juga tersedia. Koleksi buku itu sebagian besar Dimas beli dari swadaya masyarakat, hibah dari penduduk sekitar, bantuan perpustakaan daerah Wonosobo, dan perpustakaan Provinsi Jawa Tengah.


Dimas menerapkan prosedur tak rumit kepada peminjam buku di perpustakaan itu. Mereka cukup menulis nama dan tanda tangan. Waktu peminjaman buku maksimal tiga hari. “Untuk memperpanjang peminjaman buku cukup kirim pesan singkat lewat telepon seluler,” kata Dimas.


Perpustakaan Al-Bidayah tidak hanya menyediakan buku bacaan. Anak-anak bisa menonton film dan bermain game. Al-Bidayah merupakan satu dari 80 perpustakaan desa di Wonosobo hasil dorongan dari Bupati Wonosobo Kholiq Arif. Pada 2011, Al-Bidayah meraih juara pertama nasional perpustakaan desa. Lomba diadakan Perpustakaan Nasional. Sebagai juara, Al-Bidayah dapat hadiah uang pembinaan sebesar Rp 17 juta.


Di tingkat provinsi dan kabupaten, Al-Bidayah juga kerap juara. Al-Bidayah pada Oktober tahun 2013 memperoleh penghargaan sebagai perpustakaan kreatif dan rekreatif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan diberikan pada puncak peringatan Hari Aksara Internasional di Boyolali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh.


Dimas tak hanya mengajak orang untuk suka membaca. Ia juga memberdayakan masyarakat supaya mendapat penghasilan. Pepustakaan ini sekaligus membuka usaha foto kopi dan menjual perlengkapan sekolah serta kantor. Usaha ini dikelola oleh koperasi. Seorang karyawannya adalah Agus. Ia di bagian penataan buku perpustakaan. Selain menata buku di perpustakaan, ia juga menjual es buah pada sebuah gerobak sederhana. Perpustakaan Al-Bidayah buka jam 08.00 hingga 22.00. Tidak ada hari libur di perpustakaan ini. Ada lima pekerja yang membantu menghidupkan perpustakaan. Mereka mendapatkan honor Rp 250 ribu per bulan.


Dimas cukup kreatif membikin kegiatan yang berkaitan dengan perpustakaan. Pada liburan sekolah akhir tahun lalu, ia mengajak setidaknya 20 anak dan orang dewasa yang menjadi anggota perpustakaan menyaksikan pameran buku di pusat perbelanjaan di Kota Magelang. Dimas menamakan kegiatan ini sebagai wisata buku. Anak-anak disuruh membeli buku sesuai dengan minatnya. “Saya ajak anak-anak Desa Sapuran ke mal biar tidak kuper,” kata dia. Perpustakaan Al-Bidayah juga membuat penerbitan majalah sederhana, kumpulan cerita pendek, puisi, dan lukisan anak.


Kepala Kantor Perpustakaan Kabupaten Wonosobo Suharna, mengatakan Perpustakaan Al-Bidayah menjadi percontohan perpustakaan desa di tingkat nasional. Perpustakaan ini pernah menjadi juara nasional. Ada banyak daerah yang berusaha meniru keberhasilan Perpustakaan Al-Bidayah.


Ia menyatakan perpustakaan kabupaten menyumbang komputer dan sejumlah buku untuk menambah koleksi. Suharna juga banyak melibatkan Dimas, pengelola Perpustakaan Al-Bidayah dalam sejumlah kegiatan sebagai pembicara dan berbagi pengalaman mengelola perpustakaan. “Kami ingin menumbuhkan banyak perpustakaan desa,” kata Suharna.


Guru Besar Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, Sulistyo Basuki memuji pengelolaan Perpustakaan Al-Bidayah. Ia pernah berkunjung ke perpustakaan itu pada Desember 2012. Sulistyo datang ke sana setelah mendapat informasi ada perpustakaan bagus di Temanggung. Ia mendapat informasi itu ketika berada di Malaysia. Ternyata, perpustakaan bagus itu tidak di Temanggung, melainkan di Wonosobo. Tentu ia merujuk pada Perpustakaan Al-Bidayah.


Menurut dia, pengelolaan Perpustakaan Al-Bidayah bagus. Perpustakaan ini menyediakan buku lazimnya perpustakaan umum. Tapi, Al-Bidayah punya kelebihan. Perpustakaan ini menyediakan permainan komputer yang kebanyakan bermuatan pendidikan.


Anak-anak yang datang ke sana juga leluasa bermain catur. Perpustakaan juga tidak mensyaratkan suasana hening. Anak-anak biasa saling bercanda. “Perpustakaan Al-Bidayah sangat ramah anak. Itu kelebihannya,” kata Sulistyo ketika dihubungi, Senin, 27 Januari 2014.


Ia mengatakan Al-Bidayah menjadi perpustakaan alternatif. Inisiatif muncul dari orang di desa. Menurut dia, perpustakaan Al-Bidayah merupakan kritik terhadap kegagalan perpustakaan daerah yang dikelola pemerintah kabupaten pada umumnya. Padahal, perpustakaan daerah juga punya perpustakaan keliling yang mestinya menjangkau hingga ke pelosok desa.


Sulistyo mengapresiasi perpustakaan itu karena pengelolaannya peka terhadap masyarakat sekitarnya. Pengelolanya aktif menggerakkan masyarakat dan anak-anak untuk terlibat dalam mengelola perpustakaan. Ini membuat masyarakat merasa memiliki perpustakaan.


Sumber: tempo.co

Comments