Sedikit warga Surabaya yang memahami sejarah Kota Pahlawan ini. Salah satunya adalah Oei Hiem Hwie. Berbagai referensi dia kumpulkan untuk mengenal lebih dalam tentang Surabaya. Dan satu referensi wajibnya adalah kolom Heritage di Surabaya Post. Satu edisi saja dia melewatkan rubrik yang hadir tiap hari Minggu itu, pembina Perpustakaan Medayu Agung ini mengaku ’galau’.
OLEH: GUSTAF WIJAYA
Masyarakat Surabaya sendiri ternyata tak banyak yang tahu jika salah satu petak rumah di Kosagrha, Medokan Ayu 42-44 adalah perpustakaan dengan koleksi buku sejarah cukup komplet. Dan, justru gaungnya dikenal oleh orang-orang dari luar Kota Pahlawan ini.
Bahkan, sebelum menjadi Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih akrab disapa Ahok pernah berkunjung ke perpustakaan ini. Alasannya cukup simpel, ingin lebih mengenal pribadi Presiden RI pertama, Soekarno melalui peninggalan sejarahnya.
Adalah Oei Hiem Hwie, sosok kakek berusia 78 tahun yang menjadi pembina di perpusatakaan seluas 100 meter persegi itu. Sebagian besar buku dan kliping yang ada adalah milik pribadinya. Saat ini Perpustakaan Medayu Agung menjadi hak milik Yayasan Medayu Agung Surabaya yang didirikannya bersama Ongko Tikdoyo, salah satu pegiat Tinghoa Indonesia di Surabaya.
Selain buku, koleksi korannya tidak terhitung. Jumlahnya ribuan, dan salah satu yang tertua adalah koran Hamburger Fremdenblatt terbitan Jerman. Koran itu memuat headline tentang Olimpiade Berlin tahun 1936. Berbagai koran nasional juga ia koleksi, terbungkus plastik rapi di berbagai sudut perpustakaannya. Dan salah satu koleksi terbanyak adalah Harian Sore Surabaya Post.
Oei menyimpan Surabaya Post mulai terbitan tahun 1980an. “Yang di lantai dua, ada Surabaya Post terbitan 1982,” ceritanya.
Surabaya Post mulai ia kenal pada tahun 1955. “Saat itu SP (Surabaya Post, Red) masih dipimpin oleh Pak Abdul Aziz, yang kemudian ketika meninggal digantikan oleh istrinya, Bu Toety Aziz,” kenang Oei.
Pada tahun itu, saya masih bekerja untuk koran ’Terompet Masjarakat’. Dikatakannya, saat itu belum ada sekolah wartawan, tapi wartawan sudah jadi ’ratu dunia’. Wartawan bisa akses ke mana saja. “Sedikit saja tulisannya provokatif, sudah mampu menggerakkan massa luar biasa,” ungkapnya.
Lebih lanjut Oei mengaku jika dia sangat menyukai rubrik Heritage dan Wisata yang ada di Surabaya Post. ”Surabaya Post juga sering mengulas tentang candi-candi, ini koran lain tidak punya. Ini sangat penting dipertahankan agar warga Surabaya sendiri memahami jati dirinya,” tambahnya.
Ia menunjukkan tumpukan klipingnya, khusus berisi kolom Heritage dari Surabaya Post yang saat ini terbit setiap hari Minggu. “Saya suka kolom Heritage ini, benar-benar mengingatkan sejarah Surabaya, kalau terlewatkan satu edisi saja, susah saya,” tuturnya.
Oei membuat klipingnya terasa istimewa, menggunakan dengan kertas 100 gram. Kliping heritage nomor 1 miliknya adalah foto Tugu Pahlawan pada tahun 1953. “Kliping ini saya susun tidak urut, sulit mengatakan yang pertama saya tempel yang mana, terlalu banyak dan tidak saya cantumkan tanggalnya,” tandasnya.
Tiap Heritage terbit, Oei pasti tandai korannya untuk dikliping. “Beberapa masih ada di kardus, belum saya potong,” ungkapnya. Jika 1 bendel berisi 50 foto, dan Oei punya 3 bendel kliping, maka ia punya tidak kurang dari 150 lembar kliping foto dari kolom Heritage.
Seperti diketahui, kolom Heritage Surabaya Post selalu menyajikan foto-foto lama tiap-tiap sudut kota. Tentunya dengan ulasan sejarahnya. “Kolom Heritage ini membatu warga Surabaya mengenali Sejarah Kotanya sendiri,” ujar Oei.
Tidak hanya dari koran, Oei punya beberapa buku sejarah Surabaya, mulai buku terbitan Belanda seperti Er Verd Eenstad Geboren, Oud Soerabaia hingga Niew Soerabaia. Ketiga buku itu berisi sejarah awal Surabaya dan ditulis oleh G. H Von Faber. Koleksinya tentang sejarah Surabaya juga mendapatkan “Surabaya Academy Award 2004” dari Board of Surabaya Academy.
Disinggung mengenai perkembangan media massa saat ini, Oei mengatakan bahwa koran cetak pagi dan sore seperti Surabaya Post tidaklah jauh beda. “Tiap koran memiliki kelebihannya masing-masing, yang membedakan adalah ulasannya,” tandas Oei.
Dia mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan surat kabar. Menurutnya, ulasan di surat kabar cukup komplet dibandingkan dengan media lain.
Sumber: surabayapost.co.id
Comments
Post a Comment