“Banyak perpustakaan perguruan tinggi belum memenuhi standar akreditasi terkait dengan UU tentang Perpustakaan”
Salam sinergi. Kata itulah yang sering diucapkan oleh pustakawan pada waktu saling berjumpa, khususnya antaranggota Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI). Organisasi itu pada tingkat Jawa Tengah kembali menggelar kegiatan temu ilmiah nasional bekerja sama dengan Universitas Muria Kudus (UMK) pada 24-25 Oktober mendatang.
Kegiatan akan diselenggarakan di tiga lokasi, yaitu di UMK, Pesanggrahan Muria, dan Wisata Air Terjun Montel. Narasumber adalah Drs Aditya Nugraha ST MS, Prof Dr Sulistyo Basuki MA MSc, Dr Suparnyo SH MS, dengan keynote speaker Prof Dr Dwi Yuwono Puji Sugiharto MPd Kons.
Temu ilmiah itu mengangkat tema “Discussing Open Access as One of Accreditation Poins” atau “Memperbincangkan Tren Open Akses Informasi sebagai Bagian dari Akreditasi Perpustakaan”. Pengusungan tema itu dilatarbekalangi fungsi dan peran perpustakaan serta kewajibannya mengembangkan dan mendukung layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Teknologi informasi dan komunikasi harus dimanfaatkan secara maksimal oleh perpustakaan dan memungkinkan untuk akses global yang bisa menggerakkan semangat open access melalui layanan penyediaan terhadap karya akademik tanpa batas.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Perguruan Tinggi menyebutkan perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan berbasis TIK. Regulasi itu juga mengatur standar minimal yang harus dipenuhi perpustakaan. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) telah merumuskan standar tersebut dalam rumusan penilaian dan pengendalian mutu perpustakaan melalui sistem akreditasi.
Perpustakaan perguruan tinggi yang telah mendapatkan akreditasi A adalah perpustakaan UK Petra. Komponen dan indikator yang dinilai di antaranya model layanan, kerja sama, koleksi, pengorganisasian materi, SDM, gedung/ruang, sarana prasarana, anggaran, manajemen, serta perawatan koleksi.
Nilai A untuk akreditasi perpustakaan perguruan tinggi adalah tonggak sejarah perpustakaan yang mulai tahun 1990-an mengembangkan sistem otomasi perpustakaan dan online catalog. Saat itu, perpustakaan UK Petra memang sudah menjadi pelopor. Tahun 2004, meluncurkan digital theses di perguruan tinggi tersebut.
Pengembangan Layanan
Pada umumnya, banyak perpustakaan perguruan tinggi yang belum memenuhi standar akreditasi terkait UU Perpustakaan. Beberapa kendala muncul dalam pelaksanaannya padahal saat sekarang menuntut open access sebagai salah satu poin akreditasi.
Dari telaah UU, yang paling pokok pengembangan layanan harus berbasis TIK sehingga pustakawan dan pemustaka dituntut melek internet. Terlebih saat ini orang lebih menyukai tampilan secara visual dibanding tekstual.
Pustakawan dituntut menjadi penyaji informasi, memiliki strategi pemasaran informasi yang baik, keahlian khusus mendesain situs atau web perpustakaan dan sistem informasinya, dengan mengedepankan efek dan tampilan visual yang menarik. Keunggulan itu punya nilai tersendiri dari seorang pemustaka terhadap pustakawan. Tetapi perlu juga diingat tentang seleksi informasi dari sumber-sumber informasi.
Sekarang ini untuk mendapatkan informasi seorang pustakawan dan pemustaka dapat dengan mudah menemukannya melalui akses browsing, chatting, mailist dan social networking, yang semua itu merupakan potensi berarti dalam dunia informasi.
Di dunia perguruan tinggi, penyediaan fasilitas itu merupakan kebutuhan vital, apalagi terkait referensi jurnal, e-journal atau online journal yang merupakan layanan cyber dengan beragam informasi yang bersumber dari jaringan global. Semua itu dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber informasi yang makin terbuka dan makin tampak keasliannya. (10)
— Ahyati Rahayu, Staf Khusus Rektorat Bidang Perpustakaan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan Ketua FPPTI Jawa Tengah
Sumber: suaramerdeka.com
Comments
Post a Comment